Bagi para pelaku usaha atau bisnis, “ surat perjanjian/ kontrak” adalah aturan mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam menjalankan sebuah usaha/ bisnis. Oleh karena itu, membuat perjanjian/kontrak perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Apabila merujuk pada Pasal 1338 KUHPerdata, disebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, para pihak yang membuat surat perjanjian/kontrak memiliki kebebasan untuk menentukan isi dalam kontrak karena hal tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Namun, perlu dipahami dalam membuat surat kontrak/perjanjian juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat dalam membuat surat perjanjian/kontrak ini tidak dipenuhi, maka kontrak/perjanjian yang dibuat dapat dianggap tidak sah atau batal demi hukum.
Syarat Sahnya Perjanjian / Kontrak
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur secara rinci syarat sahnya surat perjanjian / kontrak, yaitu sebagai berikut:
1. Sepakat Mengikatkan Diri Bersama
Surat Perjanjian/kontrak yang dibuat dianggap sah bila para pihak secara bersama-sama bersepakat memiliki “kehendak bersama” untuk membuat perjanjian/kontrak.
Bagaimana cara membuktikan para pihak memiliki kehendak bersama mengikatkan diri membuat surat perjanjian/kontrak ?
Dalam praktek, untuk membuktikan ini cukup melihat surat perjanjian/kontrak tersebut apakah ditandatangani para pihak atau tidak.
Jika ternyata dalam perjanjian itu terdapat tanda tangan para pihak, maka perjanjian/kontrak tersebut dianggap sah secara hukum yang dimana para pihak telah mengikatkan diri.
2. Memiliki Kecakapan Dalam Membuat Perjanjian/Kontrak
Memiliki kecakapan yaitu pihak-pihak yang membuat dan menandatangani sebuah perjanjian/kontrak haruslah orang-orang yang bisa melakukan perbuatan hukum.
Apa kriteria seseorang dianggap cakap dalam membuat dan menandatangani perjanjian/kontrak ?
Bila merujuk pada aturan, maka seseorang yang cakap melakukan perbuatan hukum adalah seseorang yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin walau belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun.
Bagaimana jika perusahaan (Perseroan Terbatas) yang menjadi subjek hukum, siapakah pihak yang berhak mewakili untuk membuat dan menandatangani surat perjanjian / kontrak ?
Jika merujuk pada Pasal 89 ayat (1) UU PT, maka pihak yang berhak mewakili perseroan diluar maupun di dalam pengadilan adalah direksi. Artinya, direksi adalah pihak yang memiliki wewenang untuk membuat dan menandatangani surat perjanjian/ kontrak.
Namun dalam prakteknya, untuk mengetahui siapa pihak yang berhak menandatangani suatu perjanjian/ kontrak di sebuah perusahaan (PT) adalah dengan melihat Aggaran Dasar (AD) dari Akta Pendirian Perusahaan tersebut.
3. Objek Yang Diperjanjian Harus Jelas
Objek yang diperjanjian dalam isi surat perjanjian/kontrak harus jelas. Artinya, objeknya benar-benar ada dalam pelaksanaan perjanjian/kontrak tersebut.
Contoh : bila anda membuat perjanjian hutang piutang, maka objek perjanjiannya seperti jumlah yang diperjanjikan, mekanisme peminjaman dan jangka waktu pengembaliannya harus jelas.
Contoh lain : bila anda membuat Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), maka objek perjanjian yaitu “pekerjaan yang dikerjakan karyawan harus jelas” serta “jumlah upah dan mekansiem pembayaran yang diterima oleh karyawan haruslah jelas”.
4. Perjanjian Tidak Boleh Bertentangan Dengan Hukum/ Causa Halal
Isi dalam surat Perjanjian/kontrak atau pelaksanannya tidak boleh bertentangan dengan dengan peraturan perundang-undangan, tidak boleh bertentangan dengan norma kesusilaan atau norma ketertiban umum yang hidup dalam nilai-nilai masyarakat.
Pasal 1335 disebutkan bahwa ”suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Berdasarkan kertentuan Pasal 1335 diatas, maka apabila isi perjanjian/kontrak atau pelaksanannya bertentangan dengan hukum atau terlarang, maka perjanjian/kontrak yang dibuat tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Contoh, anda membuat perjanjian PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dengan karyawan yang dimana memasukkan masa percobaan (probation), sedangkan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja melarang hal tersebut, maka hal ini sama dengan perjanjian yang dibuat bersifat terlarang atau bertentangan dengan hukum.
Akibat Hukum Bila Perjanjian/ Kontak Tidak Memenuhi Syarat
Apabila mencermati 4 (empat) syarat sahnya perjanjian sebagaimana diuraikan diatas, maka :
- Syarat pertama (sepakat mengikatkan diri bersama) dan syarat kedua (cakap dalam membuat perjanjian/kontrak) disebut dengan syarat subjektif dikarenakan menyangkut dengan subjek hukum (pihak-pihak) yang membuat perjanjian/kontrak.
- Syarat ketiga (objek tertentu atau dapat ditentukan) dan syarat keempat (sebab atau causa halal) disebut dengan syarat objektif dikarenakan berkaitan dengan objek hukum yang diperjanjikan.
Adapun akibat hukum terhadap syarat sahnya perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
- Perjanjian/kontrak dapat dibatalkan (vernietigbaar) di pengadilan atas dasar permohonan apabila tidak terpenuhinya syarat subjektif, seperti ditemukannya fakta yang melakukan perjanjian adalah anak yang belum dewasa;
- Perjanjian/kontrak batal demi hukum (nietig) dengan sendirinya jika perjanjian/kontrak yang dibuat tersebut tidak memenuhi syarat objektif, seperti ditemukan fakta bahwa presitasi yang diperjanjian (objek) tidak jelas.
______
Apabila anda ingin berkonsultasi seputar pembuatan perjanjian /kontrak, maka dapat menghubungi tim ILS Law Firm melalui:
Telepon/ Whatsapp : Telepon/ Whatsapp : 0813-9981-4209
Email : info@ilslawfirm.co.id