Jaminan Fidusia merupakan salah satu bentuk jaminan kebendaan yang memberikan kemudahan kepada kreditur untuk mengeksekusi objek jaminan atas kekuasaannya sendiri apabila debitur melakukan wanprestasi. Namun, dalam perkembangannya, mekanisme ini sering kali menimbulkan permasalahan, terutama terkait dengan praktik eksekusi sepihak oleh kreditur tanpa persetujuan atau kesepakatan dari debitur yang menyebabkan debitur enggan untuk menyerahkan objek Jaminan Fidusia yang dikuasainya kepada kreditur. Atas dasar permasalahan tersebut, muncul pertanyaan, apakah eksekusi Jaminan Fidusia wajib melalui Pengadilan?
Dasar Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia
Secara normatif, eksekusi Jaminan Fidusia didasarkan pada Pasal 15 ayat (2) jo. Pasal 29 UU Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, kreditur memiliki hak untuk mengeksekusi sendiri melalaui pelelangan umum tanpa perlu mengajukan gugatan ke pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Hal ini sejalan dengan konsep parate eksekusi yang berlaku dalam hukum perdata. Selain itu, eksekusi Jaminan Fidusia juga dapat dilakukan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Perubahan Mekanisme Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019
Putusan ini mengubah tafsir terhadap Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU 42/1999 yang sebelumnya memberikan kreditur kewenangan untuk mengeksekusi sendiri objek Jaminan Fidusia tanpa perlu melalui pengadilan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa meskipun fidusia memberikan hak kebendaan kepada kreditur untuk melakukan eksekusi sendiri terhadap barang jaminan, hal tersebut harus tetap memperhatikan keseimbangan antara hak kreditur dan debitur.
Untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dalam eksekusi, Mahkamah menyatakan bahwa eksekusi sendiri oleh kreditur hanya dapat dilakukan apabila debitur secara sukarela mengakui telah cidera janji (wanprestasi) dan menyerahkan objek Jaminan Fidusia kepada kreditur. Jika debitur tidak mengakui adanya cidera janji dan keberatan menyerahkan objek fidusia, maka eksekusi tidak dapat dilakukan secara langsung oleh kreditur. Dalam kondisi demikian, kreditur diwajibkan untuk mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri agar memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Lebih lanjut, MK juga menyatakan bahwa frasa “kekuatan eksekutorial” dan “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia hanya dapat dikatakan konstitusional apabila dimaknai bahwa eksekusi sertifikat Jaminan Fidusia harus mengikuti prosedur yang berlaku bagi pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam hal tidak ada kesepakatan mengenai wanprestasi. Sementara itu, Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia hanya dapat dikatakan konstitusional jika “cidera janji” tidak ditentukan sepihak oleh kreditur, melainkan berdasarkan kesepakatan dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021
Putusan ini semakin memperjelas bahwa kewenangan dalam pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia berada di tangan pengadilan. MK menyatakan bahwa frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai “Pengadilan Negeri”. Dengan kata lain, pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa, termasuk dengan meminta bantuan aparat kepolisian, apabila mengenai cidera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia. Dalam hal ini, kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Perjanjian fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat), oleh karena itu kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan dan menertibkan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur pidana, maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untuk penegakan hukum pidananya. Oleh karena itu, berkenaan dengan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai “Pengadilan Negeri” sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut.
Kesimpulan
Eksekusi Jaminan Fidusia pada dasarnya memberikan kemudahan bagi kreditur untuk mengeksekusi secara langsung tanpa melalui pengadilan. Namun, dengan adanya putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan 71/PUU-XIX/2021 telah mengubah mekanisme eksekusi Jaminan Fidusia. Eksekusi secara kangsung oleh kreditur hanya dapat dilakukan jika debitur mengakui telah wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek fidusia. Jika terdapat keberatan atau debitur menolak menyerahkan objek jaminan, maka kreditur tidak dapat melakukan eksekusi secara langsung dan wajib dilakukan melalui permohonan pelaksanaan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Editor : Aldoni Sabta Ramdani, S.H.
_____
Apabila anda ingin konsultasi seputar eksekusi jaminan fidusia, anda dapat menghubungi tim ILS Law Firm melalui:
Telepon/ Whatsapp : 0813-9981-4209
Email : info@ilslawfirm.co.id